Pada suatu malam Shafiyah mengunjungi
Rasulullah saw. yang sedang beriktikaf di masjid dalam sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Ia terpaksa mendatangi suaminya itu karena ada masalah penting
yang harus segera dibicarakan. Menjelang masuk waktu isa, ia berdiri hendak
pulang dan Nabi mengantarkannya sampai ke pintu masjid.
Mereka berpapasan dengan dua orang sahabat
Anshar yang akan melaksanakan salat jamaah. Kedua sahabat itu memberi salam,
lantas berlalu dengan cepat. Rasulullah menegur, "Berhentilah sebentar.
Yang di sampingku ini Shafiyah, istriku." Kedua orang sahabat Anshar itu
bahkan mengucap, Subhanallah, janda Huyai bin Ka'ab."
Nabi
tahu ke arah mana isi perkataan mereka itu. Ia hanya berdiam diri seraya
berpikir. Kalau mereka saja tidak memahami tujuan perkawinannya, apakah lagi
umat di kemudian hari? Padahal Khadijah meninggal, tiga tahun lamanya ia
menduda. Semua istri berikutnya dinikahi berdasarkan perintah wahyu dan untuk
tujuan-tujuan kemanusiaan sehingga seluruhnya adalah janda-janda yang
terlunta-lunta kecuali seorang saja, Aisyah. Oleh karena itu dengan sedih Nabi
berkata: "Setan itu mengalir di dalam diri manusia mengikuti aliran
darahnya. Malahan dijadikannya dada manusia sebagai tempat tinggalnya kecuali orang
yang dilindungi Allah."
Tatkala
pada kali yang lain Rasulullah ditanya siapa yang dilindungi Allah itu, ia
menjawab, "Mereka yang selalu memohon perlindungan Allah."
"Siapakah gerangan?" tanya para
sahabat pula."Orang itu adalah yang banyak melakukan kebajikan, ikhlas
amalnya dan bersih hatinya."
Dari
kedua peristiwa terpisah yang rasanya saling berkaitan itu, yang perlu kita
ketahui adalah, ada hubungan apa antara sabda Nabi yang terakhir tersebut,
dengan ucapan kedua sahabat Anshar mengenai Ummul Mukminin, Shafiyah? Untuk itu
perlu kita singkap, siapa sebetulnya Shafiyah, yang dinikahi Nabi mendampingi
istri-istrinya yang lain itu. Dalam Perang Khaibar, guna menghancurkan kekuatan
tentara Yahudi yang selalu melakukan makar jahat terhadap umat Islam dan pemerintahan
Madinah, salah seorang korban yang tewas adalah Huyai bin Ka'ab, pemimpin kaum
pemberontak itu. Dan Shafiyah adalah istri Huyai. Tidak seorangpun yang
bersedia memelihara Shafiyah, padahal nasibnya terlunta-lunta karena waktu itu,
masyarakat luas menganggap Yahudi sama najisnya dengan anjing-anjing buduk,
akibat kedegilan mereka sendiri. Jadi, tatkala Nabi mengambil Shafiyah menjadi
istrinya, hal itu semata-mata untuk memberi keteladanan, betapa seharusnya umat
Islam di dalam memandang manusia jangan hanya dengan sebelah mata. Artinya,
dengan niat berbuat baik, dengan keikhlasan yang tuntas, dan dengan kebersihan
hati yang tulus, manusia harus dilihat secara utuh. Sebab berdasarkan ajaran
Islam, tidak ada manusia yang baik secara sempurna sebagaimana tidak ada yang
seluruhnya buruk. Dibalik kekuatan ada kelemahan, dibalik kebaikan ada
kekurangan. Begiu juga disela-sela kelemahan dan kejelekan, pasti tersimpan
pula segi-segi kebajikan pada diri setiap orang.
Jelas bahwa
dari satu sisi, pelacur adalah pelacur, pencuri adalah pencuri. Mereka telah melakukan perbuatan
yang melanggar susila, norma-norma agama, dan hukum negara. Akan tetapi, jika
kita masuk ke dalam bathin mereka, tidak selamanya pelacur sama jahatnya dengan
pelacur, pencuri sama jahatnya dengan pencuri, bergantung pada sebabnya. Boleh
jadi seorang pencopet yang mati dikeroyok massa,
ditangisi anak-anaknya sebagai pahlawan keluarga karena ia melakukan perbuatan
buruk itu untuk membeli obat bagi anaknya yang sakit, membeli makanan untuk anak-anaknya
yang kelaparan.
Oleh karena itu, meskipun ada ancaman hukum
potong tangan bagi para pencuri dan rajam bagi pezina, dalam hidup Nabi belum
pernah satupun yang dilaksanakan kecuali atas seorang perempuan Yahudi yang
minta diadili berdasarkan hukum Taurat. Untuk itu Nabi bersabda,
"Kemiskinan itu mendekatkan manusia pada kekafiran."
Lima tahun yang lalu,
saya kehilangan sebuah mobil, satu-satunya kendaraan saya, pada waktu
mengantarkan anak ke stasiun Gambir karena hendak berangkat ke pesantren. Hanya
lima belas
menit saya berada di peron. Ketika keluar ke pelataran parkir, mobil saya sudah
raib. Hari itu juga saya mengirimkan surat
pembaca ke tiga surat
kabar Ibu Kota.
Saya tulis begini: "Mobil itu saya
beli dengan dengan uang tabungan saya dan istri saya. Dan mobil itu saya
gunakan untuk berdakwah kemana-mana. Tidak serupiah pun uang haram terdapat
dalam pembelian mobil itu. Sengaja saya beli dengan susah payah karena dokter
melarang saya menunggang sepeda motor akibat jantung dan paru-paru saya yang
sudah rapuh. Jadi, tolong kembalikanlah mobil saya, mudah-mudahan Anda
diberkati Allah."
Tiga hari kemudian ada seseorang yang
menelepon saya bahwa mobil itu bisa diambil di belakang Hotel Indonesia pukul
tiga petang. Alhamdulilah, telepon itu tidak berdusta. Dan kembalilah mobil
saya dalam keadaan `segar bugar'. Saya pun lantas menulis surat pembaca lagi ke tiga surat kabar yang bersangkutan, menyampaikan
rasa terima kasih saya setulus-tulusnya kepada pencuri yang `baik hati' itu.
Bukankah
kejadian kecil ini membuktikan bahwa seorang penjahat pun, apabila disentuh
hati nuraninya akan tergetar juga? Bahwa suara Tuhan masih mampu menembus tabir
dosa yang menyelimuti dada manusia? Sebab setiap malam, Tuhan turun ke langit
dunia dan berseru-seru, memanggil para hamba-Nya yang bersedia berlindung dalam
pelukan-Nya. Suara-Nya mendayu bersama angin yang semilir, meningkahi
titik-titik air yang menetes dari sela-sela jari-jemari kaum Muslimin yang
sedang mengambil air wudu.
Dalam hadis Qudsi, firman Allah berbunyi,
"Barang siapa mencari Aku, akan Kucari dia. Barang siapa mencintai Aku,
akan Kucintai dia. Dan barang siapa meminta ampun kepada-Ku pasti akan Kuampuni
dia"
"Oleh
sebab itu, tataplah dunia ini dengan hati putih. Pandanglah manusia dengan jiwa
bersih. Kadang-kadang yang kauanggap buruk sebetulnya justru baik untuk engkau,
sementra yang kaukira baik malahan amat buruk untuk engkau," ucap Imam Abu
Laits, seorang sufi tua kepada para muridnya. Lalu ia pun membacakan sebuah
firman Allah tentang keharusan orang beriman untuk memandang sampai jauh ke
seberang, di balik yang terlihat, yang teraba, dan yang terasa.
Firman Allah : "Jangan-jangan kamu
membenci sesuatu, ternyata ia baik bagimu. Atau mungkin saja kamu mencintai
sesuatu, padahal buruk untukmu." (Al-Baqarah:216)
No comments:
Post a Comment