Friday, 12 February 2016

Perkembangan Bahasa Pada Anak

Pengertian Bahasa
Crystal (dalam Hoff, 1995) mengatakan bahwa bahasa adalah penggunaan bunyi atau bahasa atau simbol tertulis yang sistematis serta konvensional untuk tujuan komunikasi atau ekspresikan diri. Definisi ini sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hulit dan Howard (1997) yang kemudian mereka menambahkan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol yang abstrak dan struktur yang sistematis serta spesifik.
Sistem aturan bahasa meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Fonologi ialah studi tentang sistem bunyi-bunyian bahasa. Morfologi mengacu pada ketentuan-ketentuan pengkombinasian morfem, dimana morfem ialah rangkaian bunyi-bunyian terkecil yang memberi makna kepada apa yang kita ucapkan dan dengar. Sintaksis melibatkan bagaimana kata-kata dikombinasikan untuk membentuk ungkapan dan kalimat yang dapat diterima. Pragmatik ialah kemampuan untuk melibatkan diri dalam percakapan yang sesuai dengan maksud dan keinginan. Dalam penelitian ini yang akan diteliti ialah komponen semantik, yaitu mengacu kepada makna kata dan kalimat, yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa anak di usia 24-26 bulan.

Perkembangan Bahasa
            Proses perkembangan bahasa sejak dahulu telah menarik perhatian para peneliti, pendidik bahkan orangtua (Otto, 2010). Otto dan Gleason menyatakan bahwa sejak 50 tahun yang lalu, banyak ahli bahasa, dan psikolog perkembangan mempelajari perkembangan bahasa dengan memperhatikan apa yang dipelajari, kapan dipelajari, dan faktor apa saja yang dapat menjelaskan proses perkembangan tersebut (Gleason, 2005).
            Beberapa pandangan yang berbeda telah di kemukakan sebagai dasar teori untuk lebih memahami perkembangan bahasa. Ada 4 pandangan teori yang dijelaskan oleh Otto (2005), yaitu: nativist, cognitive development, behaviorist, dan interactionist. Setiap pandangan tersebut fokus kepada peran nature dan nurture. Pandangan nativist dan cognitive development menitikberatkan pada nature, sedangkan pandangan behaviorist dan interactionist pada nurture. Karena dalam penelitian ini peneliti melihat perkembangan bahasa dari interaksi ibu-anak ketika bermain, maka lebih ditekankan pada pandangan interactionist yang dipengaruhi oleh nurture.  
Interactionist Perspective, Interactionist perspective fokus pada peran utama dari interaksi sociocultural yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak (Otto, 2005). Pandangan ini berpendapat bahwa anak memperoleh bahasa melalui usahanya untuk berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Pandangan ini berkontribusi untuk lebih memahami bagaimana anak memperoleh kemampuan bahasa pragmatis. Bahasa diperoleh individu sebagai kebutuhan untuk berfungsi di dalam masyarakat. Penemuan Vygotsky menekankan peran interaksi sosial dalam perkembangan bahasa. Menurut Vygotsky (Otto 2005), perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dimana individu tersebut tinggal.
Menurut Bloom dan Tinker (Otto, 2005), anak usia dini secara sengaja mengerahkan usaha untuk mengasosiasikan speech sounds dengan makna lalu mulai menggunakan kata dan ungkapan. Pembelajaran bahasa tersebut berkembang lebih lanjut pada masa toddler, ketika anak mengembangkan kompetensi bahasa yang lebih rumit. Pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan bahasa pada anak di usia dini dapat dilihat dari joint attention dan  verbal turn-taking yang sering terjadi  antara anak dengan orangtua atau primary caregiver. Dukungan lingkungan untuk perkembangan bahasa terlihat dari interaksi orangtua dalam percakapan seperti mendengar, merespon apa yang telah diucapkan anak, mengulang untuk klarifikasi, dan bertanya.
Dalam pandangan interaksionis, peran orang dewasa dalam proses komunikasi sangat penting untuk mendukung perkembangan bahasa anak. Menurut Gleason (2005), perkembangan bahasa anak dari waktu ke waktu adalah hasil dari tindakan parental karena anak adalah orang yang belum berpengalaman sebagai komunikator, maka orang dewasa dalam percakapan dua arah berperan sebagai ahli yang menciptakan kondisi agar komunikasi efektif. Gleason (2005) mengatakan bahwa pandangan interaksionis melihat anak dan lingkungan bahasa mereka sebagai sistem yang dinamis, keduanya saling membutukan untuk:  komunikasi sosial yang efisien dalam perkembangan, dan meningkatkan kemampuan linguistik anak.

Perkembangan Bahasa Awal Anak
Perkembangan bahasa menggambarkan interaksi dari berbagai perkembangan yang dialami anak, yaitu dari perkembangan fisik, kognitif maupun perkembangan dalam interaksi sosial anak dengan orang dewasa. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2007) tahap perkembangan bahasa awal anak ada 5 tahap, yaitu:
1.      Early Vocalization (Vokalisasi awal)
Tangisan merupakan cara bayi berkomunikasi. Perbedaan dalam pitches, pola dan intensitas mengindikasikan bahwa bayi sedang lapar, mengantuk atau marah (Lester&Boukydis 1985; Papalia et.al, 2007). Saat berusia 6 minggu hingga 3 bulan, bayi mulai cooing bila ia senang – berteriak, gurgling, serta membuat bunyi seperti bunyi vokal “ahhh”. Pada usia 6 sampai dengan 10 bulan, babbling – mengulangi suku kata yang terdiri dari konsonan dan vokal seperti “ma-ma-ma-ma” – mulai muncul. Perkembangan bahasa berlanjut dengan bayi secara tidak sengaja melakukan imitation  of languages. Pada usia 9 – 10 bulan, bayi secara sengaja meniru suara-suara tanpa mengerti apa arti suara-suara tersebut.
2.      Recognizing Language Sounds (Mengenali Bunyi Bahasa)
Kemampuan untuk membedakan bunyi merupakan hal yang penting dalam perkembangan bahasa anak. Menurut Jusczyk & Hohne (dalam Papalia 2007) agar anak dapat memahami dan menggunakan frase, anak pertama kali harus terbiasa mendengar bunyi suatu kata kemudian memaknai frase tersebut. Pada saat anak berusia 6 bulan, anak biasanya mulai dapat mengenali bunyi kata dari bahasa sehari-harinya. Pada saat ini anak mulai dapat mengenali arti dari beberapa kata.
3.      Gestures (Gerak Tubuh)
Antara usia 9 dan 12 bulan, anak mulai belajar membuat gerak tubuh yang bersifat sosial seperti melambaikan tangan untuk menunjukkan selamat tinggal, menganggukkan kepala tanda setuju, dan menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Pada saat berusia 13 bulan, anak mulai mengelaborasi representational gestures; misalnya menjulurkan kedua tangannya,tanda anak ingin digendong. Gerak tubuh simbolis – misalnya anak meniup sesuatu artinya sesuatu itu panas – biasanya mulai muncul saat anak pertama kali mengucapkan kata pertama mereka. Dengan menggunakan gerak tubuh simbolis, anak mulai menunjukkan pengertian bahwa simbol dapat merefrensikan objek, kejadian, keinginan atau kondisi tertentu. Menurut Lock, Young, Service & Chandler (dalam Papalia et.al, 2007) gestures biasa muncul sebelum anak memiliki kosa kata lebih dari 25 buah dan kemudian gestures tersebut menghilang ketika anak belajar bahwa gestures dapat digantikan dengan ucapan kata.
4.      First Word (Kata Pertama)
Rata-rata anak mengeluarkan kata pertamanya saat berusia 10-14 bulan, mengindikasikan linguistic speech – ekspresi verbal yang memiliki arti. Pada awalnya anak memahami arti kata saja sebelum menggunakannya, sehingga perbendaharaan kata pasif berkembang lebih cepat dibandingkan perbendaharaan ekspresif. Pada rentang usia 16-24 bulan, anak akan mengalami name explosion, yaitu dalam beberapa minggu anak dapat mengucapkan 50 sampai dengan 400 kata (Santrock, 2005; Papalia et.al, 2007).
5.      First Sentences (Kalimat Pertama)
Tahap berikutnya yang penting dalam perkembangan bahasa anak adalah sewaktu anak mulai menggabungkan dua kata untuk mengekspresikan satu ide. Biasanya hal ini terjadi saat anak berusia 19-24 bulan, sekitar 8 hingga 12 bulan setelah kata pertamanya, akan tetapi rentang usia ini sangat bervariasi pada setiap anak.
Pada awalnya, anak akan menggunakan telegraphic speech – terdiri dari beberapa kata yang esensial – seperti “mama bobo” saat melihat ibunya sedang tidur. Saat berusia 20-30 bulan, anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan sintaksnya, yaitu kemampuan untuk mengatur urutan kalimat sesuai dengan aturan bahasa. Anak juga mulai memahami bahwa bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi sehingga mereka mulai berusaha agar kata-kata yang diucapkannya dapat dimengerti oleh orang lain. Pada usia 3-6 tahun, anak dapat merangkai kalimat dengan tiga sampai dengan enam kata dan pada usia 6-8 tahun, anak dapat merangkai kalimat dengan enam sampai dengan delapan kata dan dapat berhitung hingga angka 10 (Santrock, 1995).

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Awal Anak
            Menurut Papalia et. al (2007), ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa awal anak yaitu, faktor neurologis, interaksi sosial dan child-directed speech.
1.      Faktor Neurologis
Perkembangan otak yang pesat pada awal-awal kehidupan sangat berhubungan erat dengan perkembangan bahasa. Tangisan bayi yang baru lahir dikontrol oleh brain stem dan pons, bagian otak yang paling primitif dan berkembang paling dulu. Repetitive babling dapat berupa hasil dari matangnya organ motor cortex, yang mengontrol gerakan muka dan laring. Dan menurut Owen (Papalia et. al, 2007) baru pada awal dari tahun kedua kehidupan anak, mereka mulai berbicara, sambungan antara auditori dan aktivitas motor anak mengalami perkembangan.
Menurut Holowka & Petitto (Papalia et. al 2007), lateralisasi dari fungsi linguitik  dalam otak tampaknya berkembang pada awal kehidupan. Sekitar 98% dari manusia, belahan otak bagian kiri merupakan bagian yang dominan terhadap bahasa, sedangkan belahan kanan juga ikut berpartisipasi (Nobre & Plunkett; Owens dalam Papalia et. al 2007). Penelitian mengenai kerusakan otak pada anak menunjukkan bahwa ada periode sensitif sebelum laterisasi bahasa terbentuk. Kelenturan pada otak infant sepertinya memungkinkan perpindahan terjadi pada area yang rusak ke daerah lain. Otak pada infant yang normal juga menunjukkan kelenturan. Menurut Nobre & Plunkett (Papalia et. al 2007), beberpa penelitian menyarankan bahwa fungsi bahasa pada struktur otak dapat berupa proses bertahap yang terkait dengan pengalaman verbal dan perkembangan kognitif.
2.      Interaksi Sosial: Peran Orangtua dan Caregiver
Bahasa merupakan kegiatan sosial. Orangtua atau caregiver memainkan peran penting dalam setiap perkembangan bahasa anak. Pada periode prelinguistik, orang dewasa membantu perkembangan bahasa bayi dengan menirukan dan mengulangi suara yang dikeluarkan oleh bayi. Bayi kemudian akan mengulangi suara yang ia dengar. Imitasi orangtua terhadap suara yang dikeluarkan bayi mempengaruhi kecepatan bayi dalam mempelajari bahasa (Hardy-Brown & Plomin dalam Papalia et. al, 2007). Kegiatan ini juga membantu bayi mengalami aspek sosial dari bicara, bahwa dalam percakapan ada taking turn, dan biasanya bayi memahami hal tersebut pada usia 7 ½ bulan sampai 8 bulan. Pada sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Tamis Le-Monda, Bornstein dan Baumwell (2001), dinyatakan bahwa ibu yang responsif terhadap anaknya yang berusia 9 bulan dan 13 bulan perkembangan bahasanya akan lebih pesat dibandingkan dengan ibu yang kurang responsif. Pada perkembangan kosakata, anak belajar dengan mendengar ucapan orang dewasa. Saat anak mulai berbicara, orangtua atau caregiver membantu dengan mengulangi kata-kata yang ia ucapkan dengan lafal yang benar. Hubungan yang kuat juga ditemukan antara frekuensi dari beragam kata yang diucapkan oleh ibu dan urutan kata yang dipelajari oleh si anak (Huttenlocher, Haight, Bryk, Seltzer, & Lyons dalam Papalia et. al 2007).
Menurut Hoff (2005), ibu dengan status sosial ekonomi yang tinggi cenderung menggunakan kata-kata yang panjang serta bervariasi sehingga anak mereka yang berusia 2 tahun mempunyai kosakata yang lebih banyak. Namun, sensitifitas dan responsifitas orangtua terhadap perkembangan bahasa anak lebih berpengaruh dibandingkan dengan jumlah kata yang di ucapkan oleh ibu. Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan Bornstein, Tamis-LeMonda dan Haynes (1991) ditemukan bahwa ibu menyesuaikan bahasa yang ia ucapkan dengan perkembangan bahasa anak dan anak dengan kosakata terbanyak adalah mereka yang mempunyai ibu yang responsif.
3.      Child-directed Speech
Child-directed speech ialah suatu bentuk percakapan yang digunakan kepada bayi atau toddler. Biasanya bahasa yang digunakan orang dewasa saat bicara cenderung lambat, dengan nada suara lebih tinggi dan berirama, menggunakan bahasa yang sederhana, memanjangkan vokal pada kata dan menggunakan kata yang singkat dan mengulangi kata. Menurut Papalia et. al (2007), banyak peneliti yang percaya bahwa child-directed speech membantu bayi mempelajari bahasa ibu mereka atau setidaknya mereka lebih cepat dalam membedakan kata-kata.  

Maternal Responsiveness
Pengertian
Menurut Tamis-LeMonda, Bornstein dan Baumwell (2001), maternal responsiveness di definisikan sebagai perubahan positif dan bermakna dalam tingkah laku yang contigous, dan contingent terhadap tingkah laku anak (mis: jika anak melihat cangkir dan ibu mengatakan “cangkir”, maka ibu tersebut merespon tingkah laku anaknya). Sedangkan penelitian Bornstein dan Tamis-LeMonda pada tahun 1989 (dalam Kail & Reese, 2002) dinyatakan bahwa respon ibu yang prompt, contingent dan appropriate terhadap perubahan aktivitas atau tingkahlaku anak berkontribusi pada pemerolehan bahasa anak, disebut maternal responsiveness.
Promptness yang dimaksud adalah pemilihan waktu respon ibu yang segera setelah ada perubahan tingkah laku anak. Respons prompt memfasilitasi informasi verbal yang masuk kemudian akan diproses oleh si anak. Contingency adalah respon atau reaksi ibu yang muncul ketika ada perubahan dalam tingkahlaku anak (mis: orangtua mengatakan “lihat, itu boneka beruang” ketika anak sedang memegang-megang boneka beruang). Appropriateness ialah respon ibu yang positif terhadap tingkah laku anak, yaitu tepat dan sesuai dengan atensi anak. Misalnya, seorang ibu mengatakan “Adek lagi ngasih makan si beruang ya” ketika anak sedang menyendokkan sendok ke arah mulut beruang.
Dari definisi di atas, di tarik kesimpulan bahwa ada tiga karakteristik stimulasi verbal – promptness, contingency, dan appropriateness – yang mendasari apa yang di maksud dengan maternal responsiveness.

Kategori Maternal Responsiveness
Berikut kategori maternal responsiveness yang telah disusun oleh Tamis, Bornstein dan Baumell (2001) dalam penelitian mereka.  Maternal responsiveness terdiri dari dua respon yaitu respon yang prompt, contingent dan appropriate (Affirmation, imitations, description, demonstration, exploratory) dan maternal responsiveness yang unresponsive, dijelaskan sebagai berikut:
1.      Affirmations, yaitu mengafirmasi tingkah laku anak (misal: mengatakan iya, benar, pintar)
2.      Imitations, yaitu mengimitasi dan atau merevisi ucapan anak (misal: mengucapkan kucing setelah anak mengatakan “cing”)
3.      Description, yaitu mendeskripsikan obyek/benda, kejadian/aktifitas (misal: anak melihat gambar ikan, ibu mengatakan “itu ikan kayak punya adek ya”)
4.      Quetions, yaitu mengajukan pertanyaan mengenai obyek/benda, kejadian/aktifitas yang sedang dilakukan oleh si anak (misal: itu gambar apa?)
5.      Demonstration/ play prompt, yaitu melakukan permainan atau mencontohkan kejadian/aktifitas kepada anak, bisa berupa pretend play, ikut memainkan mainan bersama anak, menirukan suara binatang, dan sebagainya (misal: “itu ajak boneka bayinya jalan-jalan”)
6.      Exploratory, yaitu mengamati atau mengeksplorasi benda/obyek bersama anak (misal: ibu mengatakan “lihat ini dek”; “ini mobil bisa apa aja a dek?”)
7.      Unresponsive, yaitu ibu tidak melakukan respon dengan segera, positif, contigous ataupun contingent (misal: ketika anak sedang bermain dengan boneka dan mengeluarkan ucapan-ucapan verbal, ibu hanya diam saja. Atau ketika anak sedang melihat gambar hewan yang sedang di pegangnya, ibu mengambil benda lain)

Maternal Responsiveness dan Pemerolehan Bahasa Anak
            Dari hasil penelitian Tamis-LeMonda et. al (2001) ditemukan bahwa, jika anak melakukan suatu tindakan, dan ibu merespon dengan tepat, maka perkembangan bahasa anak akan lebih berkembang. Dalam penelitian Bornstein, Tamis-LeMonda, Tal, Luderman, Toda, Rahn, Pecheuex, Azuma, & Vardi (1992), ada dua alasan mengapa maternal responsiveness telah menarik perhatian para peneliti perkembangan. Pertama, dapat melihat tiga kejadian yang saling berhubungan antara orangtua, anak dan tingkah laku anak dengan tepat dan signifikan. Kedua, parental responsiveness dinyatakan sebagai faktor yang berarti dalam perkembangan anak. 
Sedangkan Tamis-LeMonda, Cristofaro, Rodriguez, & Bornstein (dalam Lawrence, 2006) dikatakan ada dua hal mengapa respons orangtua (ibu) berpengaruh pada perkembangan bahasa anak. Pertama, respons verbal memberi kesempatan anak untuk belajar kata-kata baru, karena respon verbal orangtua disesuaikan dengan minat si anak (Bloom dalam Lawrence, 2006). Kedua, anak memberi sinyal kepada orangtua mereka mengenai topik komunikasi yang ingin anak bicarakan melalui ekspresi wajah, pandangan mata, gerakan tubuh dan vokalisasi.  
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tamis-LeMonda sebelumnya (dalam Lawrence, 2002), ditemukan bahwa responsiveness berpengaruh pada usia dini 4-5 bulan, dalam berbagai budaya. Di dalam penelitian tersebut di temukan bahwa maternal responsivness pada anak berusia 5 bulan tidak hanya memprediksi perkembangan bahasa saat usia 7 bulan, juga berhubungan erat dengan proses adaptasi anak (Bornstein & Tamis-LeMonda, 1997 dalam Tamis-LeMonda dan Bornstein, 2002). Dalam penelitian yang dilakukan Bornstein et. al (1992) di negara Amerika, Perancis dan Jepang, ditemukan bahwa ibu dari tiga negara tersebut memiliki tiga budaya yang berbeda sama-sama merespon anaknya sesuai dengan tingkahlaku yang anak mereka tampilkan. Snow (dalam Tamis-LeMonda, 2001) juga mengatakan bahwa ibu dapat memberikan kalimat semantik yang relevan dan dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh anak karena mengikuti sinyal yang diberikan sang anak. Menurut Bornstein et. al (1999), modifikasi semantik dan sintatik pada parental speech yang disesuaikan dengan perkembangan bahasa anak, merupakan hal yang efektif untuk mengembangkan pertumbuhan bahasa anak.
Penelitian yang lain juga mengemukakan pentingnya maternal responsive pada usia dini anak, misalnya, dengan memfokuskan pada intonasi suara dan turn taking (Bloom et. al dalam Lawrence, 2002). Bloom (dalam Lawrence, 2002) meneliti pengaruh turn taking percakapan ibu – anak berikut infant vocalization. Sedangkan penelitian Hollich et. al (dalam Lawrence, 2002) dikemukakan bahwa jika ibu sering merespon dengan mengulang kata baru kepada anak dapat menambah perbendaharaan kata anak. Menurut Tamis-LeMonda, Bornstein dan Baumwell (2001), imitasi yang dilakukan oleh anak membuka kesempatan bagi orangtua untuk me-reinforce makna dari bentuk phonetic yang diucapkan anak. Dan anak yang sering mengimitasi kata di luar perbendaharaan bahasa mereka pada pemerolahan bahasa dini anak, memiliki kosa kata lebih banyak saat berusia 17-21 bulan (Masur dalam Tamis-LeMonda 2001).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat gambaran maternal responsiveness dikaitkan dengan pemerolehan bahasa, yaitu jumlah kata dan kalimat pada anak usia 24-26 ketika sedang bermain bersama.




No comments:

Post a Comment