Pengertian Bahasa
Crystal (dalam Hoff, 1995) mengatakan bahwa bahasa adalah
penggunaan bunyi atau bahasa atau simbol tertulis yang sistematis serta
konvensional untuk tujuan komunikasi atau ekspresikan diri. Definisi ini sama
dengan definisi yang dikemukakan oleh Hulit dan Howard (1997) yang kemudian
mereka menambahkan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol yang abstrak dan
struktur yang sistematis serta spesifik.
Sistem aturan bahasa meliputi fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik dan pragmatik. Fonologi ialah studi tentang sistem bunyi-bunyian
bahasa. Morfologi mengacu pada ketentuan-ketentuan pengkombinasian morfem,
dimana morfem ialah rangkaian bunyi-bunyian terkecil yang memberi makna kepada
apa yang kita ucapkan dan dengar. Sintaksis melibatkan bagaimana kata-kata
dikombinasikan untuk membentuk ungkapan dan kalimat yang dapat diterima. Pragmatik
ialah kemampuan untuk melibatkan diri dalam percakapan yang sesuai dengan
maksud dan keinginan. Dalam penelitian ini yang akan diteliti ialah komponen
semantik, yaitu mengacu kepada makna kata dan kalimat, yang berkaitan dengan
pemerolehan bahasa anak di usia 24-26 bulan.
Perkembangan
Bahasa
Proses
perkembangan bahasa sejak dahulu telah menarik perhatian para peneliti,
pendidik bahkan orangtua (Otto, 2010). Otto dan Gleason menyatakan bahwa sejak
50 tahun yang lalu, banyak ahli bahasa, dan psikolog perkembangan mempelajari
perkembangan bahasa dengan memperhatikan apa yang dipelajari, kapan dipelajari,
dan faktor apa saja yang dapat menjelaskan proses perkembangan tersebut
(Gleason, 2005).
Beberapa
pandangan yang berbeda telah di kemukakan sebagai dasar teori untuk lebih
memahami perkembangan bahasa. Ada 4 pandangan teori yang dijelaskan oleh Otto
(2005), yaitu: nativist, cognitive development, behaviorist, dan
interactionist. Setiap pandangan tersebut fokus kepada peran nature
dan nurture. Pandangan nativist dan cognitive development menitikberatkan
pada nature, sedangkan pandangan behaviorist dan interactionist
pada nurture. Karena dalam penelitian ini peneliti melihat
perkembangan bahasa dari interaksi ibu-anak ketika bermain, maka lebih
ditekankan pada pandangan interactionist yang dipengaruhi oleh nurture.
Interactionist Perspective, Interactionist perspective fokus pada peran utama dari interaksi sociocultural
yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak (Otto, 2005). Pandangan ini
berpendapat bahwa anak memperoleh bahasa melalui usahanya untuk berkomunikasi
dengan dunia sekitarnya. Pandangan ini berkontribusi untuk lebih memahami
bagaimana anak memperoleh kemampuan bahasa pragmatis. Bahasa diperoleh individu
sebagai kebutuhan untuk berfungsi di dalam masyarakat. Penemuan Vygotsky
menekankan peran interaksi sosial dalam perkembangan bahasa. Menurut Vygotsky (Otto
2005), perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dimana individu
tersebut tinggal.
Menurut Bloom dan Tinker (Otto, 2005), anak usia dini secara
sengaja mengerahkan usaha untuk mengasosiasikan speech sounds dengan
makna lalu mulai menggunakan kata dan ungkapan. Pembelajaran bahasa tersebut
berkembang lebih lanjut pada masa toddler, ketika anak mengembangkan
kompetensi bahasa yang lebih rumit. Pentingnya interaksi sosial dalam
perkembangan bahasa pada anak di usia dini dapat dilihat dari joint
attention dan verbal turn-taking
yang sering terjadi antara anak dengan
orangtua atau primary caregiver.
Dukungan lingkungan untuk perkembangan bahasa terlihat dari interaksi orangtua
dalam percakapan seperti mendengar, merespon apa yang telah diucapkan anak,
mengulang untuk klarifikasi, dan bertanya.
Dalam pandangan interaksionis, peran orang dewasa dalam
proses komunikasi sangat penting untuk mendukung perkembangan bahasa anak.
Menurut Gleason (2005), perkembangan bahasa anak dari waktu ke waktu adalah
hasil dari tindakan parental karena
anak adalah orang yang belum berpengalaman sebagai komunikator, maka orang
dewasa dalam percakapan dua arah berperan sebagai ahli yang menciptakan kondisi
agar komunikasi efektif. Gleason (2005) mengatakan bahwa pandangan interaksionis
melihat anak dan lingkungan bahasa mereka sebagai sistem yang dinamis, keduanya
saling membutukan untuk: komunikasi
sosial yang efisien dalam perkembangan, dan meningkatkan kemampuan linguistik
anak.
Perkembangan Bahasa Awal Anak
Perkembangan bahasa menggambarkan interaksi dari berbagai
perkembangan yang dialami anak, yaitu dari perkembangan fisik, kognitif maupun
perkembangan dalam interaksi sosial anak dengan orang dewasa. Menurut Papalia,
Olds dan Feldman (2007) tahap perkembangan bahasa awal anak ada 5 tahap, yaitu:
1.
Early Vocalization (Vokalisasi awal)
Tangisan merupakan cara bayi berkomunikasi. Perbedaan dalam pitches,
pola dan intensitas mengindikasikan bahwa bayi sedang lapar, mengantuk atau
marah (Lester&Boukydis 1985; Papalia et.al, 2007). Saat berusia 6 minggu
hingga 3 bulan, bayi mulai cooing bila ia senang – berteriak, gurgling,
serta membuat bunyi seperti bunyi vokal “ahhh”. Pada usia 6 sampai dengan 10
bulan, babbling – mengulangi suku kata yang terdiri dari konsonan dan
vokal seperti “ma-ma-ma-ma” – mulai muncul. Perkembangan bahasa berlanjut
dengan bayi secara tidak sengaja melakukan imitation of languages. Pada usia 9 – 10 bulan, bayi
secara sengaja meniru suara-suara tanpa mengerti apa arti suara-suara tersebut.
2.
Recognizing
Language Sounds (Mengenali Bunyi Bahasa)
Kemampuan untuk
membedakan bunyi merupakan hal yang penting dalam perkembangan bahasa anak.
Menurut Jusczyk & Hohne (dalam Papalia 2007) agar anak dapat memahami dan
menggunakan frase, anak pertama kali harus terbiasa mendengar bunyi suatu kata
kemudian memaknai frase tersebut. Pada saat anak berusia 6 bulan, anak biasanya
mulai dapat mengenali bunyi kata dari bahasa sehari-harinya. Pada saat ini anak
mulai dapat mengenali arti dari beberapa kata.
3.
Gestures (Gerak Tubuh)
Antara usia 9 dan 12 bulan, anak mulai belajar membuat gerak
tubuh yang bersifat sosial seperti melambaikan tangan untuk menunjukkan selamat
tinggal, menganggukkan kepala tanda setuju, dan menggelengkan kepala tanda
tidak setuju. Pada saat berusia 13 bulan, anak mulai mengelaborasi representational
gestures; misalnya menjulurkan kedua tangannya,tanda anak ingin digendong.
Gerak tubuh simbolis – misalnya anak meniup sesuatu artinya sesuatu itu panas –
biasanya mulai muncul saat anak pertama kali mengucapkan kata pertama mereka.
Dengan menggunakan gerak tubuh simbolis, anak mulai menunjukkan pengertian
bahwa simbol dapat merefrensikan objek, kejadian, keinginan atau kondisi
tertentu. Menurut Lock, Young, Service & Chandler (dalam Papalia et.al,
2007) gestures biasa muncul sebelum anak memiliki kosa kata lebih dari
25 buah dan kemudian gestures tersebut menghilang ketika anak belajar
bahwa gestures dapat digantikan
dengan ucapan kata.
4.
First Word (Kata Pertama)
Rata-rata anak mengeluarkan kata pertamanya saat berusia
10-14 bulan, mengindikasikan linguistic speech – ekspresi verbal yang
memiliki arti. Pada awalnya anak memahami arti kata saja sebelum menggunakannya,
sehingga perbendaharaan kata pasif berkembang lebih cepat dibandingkan
perbendaharaan ekspresif. Pada rentang usia 16-24 bulan, anak akan mengalami name
explosion, yaitu dalam beberapa minggu anak dapat mengucapkan 50 sampai
dengan 400 kata (Santrock, 2005; Papalia et.al, 2007).
5.
First Sentences (Kalimat Pertama)
Tahap berikutnya yang
penting dalam perkembangan bahasa anak adalah sewaktu anak mulai menggabungkan
dua kata untuk mengekspresikan satu ide. Biasanya hal ini terjadi saat anak berusia
19-24 bulan, sekitar 8 hingga 12 bulan setelah kata pertamanya, akan tetapi
rentang usia ini sangat bervariasi pada setiap anak.
Pada awalnya, anak akan
menggunakan telegraphic speech – terdiri dari beberapa kata yang
esensial – seperti “mama bobo” saat melihat ibunya sedang tidur. Saat berusia
20-30 bulan, anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan sintaksnya, yaitu
kemampuan untuk mengatur urutan kalimat sesuai dengan aturan bahasa. Anak juga
mulai memahami bahwa bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi sehingga
mereka mulai berusaha agar kata-kata yang diucapkannya dapat dimengerti oleh
orang lain. Pada usia 3-6 tahun, anak dapat merangkai kalimat dengan tiga
sampai dengan enam kata dan pada usia 6-8 tahun, anak dapat merangkai kalimat
dengan enam sampai dengan delapan kata dan dapat berhitung hingga angka 10
(Santrock, 1995).
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Awal Anak
Menurut
Papalia et. al (2007), ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa
awal anak yaitu, faktor neurologis, interaksi sosial dan child-directed speech.
1.
Faktor Neurologis
Perkembangan otak yang pesat pada awal-awal kehidupan sangat
berhubungan erat dengan perkembangan bahasa. Tangisan bayi yang baru lahir
dikontrol oleh brain stem dan pons,
bagian otak yang paling primitif dan berkembang paling dulu. Repetitive babling dapat berupa hasil
dari matangnya organ motor cortex,
yang mengontrol gerakan muka dan laring. Dan menurut Owen (Papalia et. al,
2007) baru pada awal dari tahun kedua kehidupan anak, mereka mulai berbicara,
sambungan antara auditori dan aktivitas motor anak mengalami perkembangan.
Menurut Holowka & Petitto (Papalia et. al 2007), lateralisasi
dari fungsi linguitik dalam otak
tampaknya berkembang pada awal kehidupan. Sekitar 98% dari manusia, belahan
otak bagian kiri merupakan bagian yang dominan terhadap bahasa, sedangkan
belahan kanan juga ikut berpartisipasi (Nobre & Plunkett; Owens dalam
Papalia et. al 2007). Penelitian mengenai kerusakan otak pada anak menunjukkan
bahwa ada periode sensitif sebelum laterisasi bahasa terbentuk. Kelenturan pada
otak infant sepertinya memungkinkan perpindahan terjadi pada area yang rusak ke
daerah lain. Otak pada infant yang normal juga menunjukkan kelenturan. Menurut
Nobre & Plunkett (Papalia et. al 2007), beberpa penelitian menyarankan
bahwa fungsi bahasa pada struktur otak dapat berupa proses bertahap yang
terkait dengan pengalaman verbal dan perkembangan kognitif.
2.
Interaksi Sosial: Peran
Orangtua dan Caregiver
Bahasa merupakan kegiatan sosial. Orangtua atau caregiver
memainkan peran penting dalam setiap perkembangan bahasa anak. Pada periode
prelinguistik, orang dewasa membantu perkembangan bahasa bayi dengan menirukan
dan mengulangi suara yang dikeluarkan oleh bayi. Bayi kemudian akan mengulangi
suara yang ia dengar. Imitasi orangtua terhadap suara yang dikeluarkan bayi
mempengaruhi kecepatan bayi dalam mempelajari bahasa (Hardy-Brown & Plomin dalam
Papalia et. al, 2007). Kegiatan ini juga membantu bayi mengalami aspek sosial
dari bicara, bahwa dalam percakapan ada taking
turn, dan biasanya bayi memahami hal tersebut pada usia 7 ½ bulan sampai 8
bulan. Pada sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Tamis Le-Monda,
Bornstein dan Baumwell (2001), dinyatakan bahwa ibu yang responsif terhadap
anaknya yang berusia 9 bulan dan 13 bulan perkembangan bahasanya akan lebih pesat dibandingkan dengan ibu yang
kurang responsif. Pada perkembangan kosakata, anak belajar dengan
mendengar ucapan orang dewasa. Saat anak mulai berbicara, orangtua atau caregiver membantu dengan mengulangi
kata-kata yang ia ucapkan dengan lafal yang benar. Hubungan yang kuat juga
ditemukan antara frekuensi dari beragam kata yang diucapkan oleh ibu dan urutan
kata yang dipelajari oleh si anak (Huttenlocher, Haight, Bryk, Seltzer, &
Lyons dalam Papalia et. al 2007).
Menurut Hoff (2005), ibu dengan status sosial ekonomi yang
tinggi cenderung menggunakan kata-kata yang panjang serta bervariasi sehingga
anak mereka yang berusia 2 tahun mempunyai kosakata yang lebih banyak. Namun,
sensitifitas dan responsifitas orangtua terhadap perkembangan bahasa anak lebih
berpengaruh dibandingkan dengan jumlah kata yang di ucapkan oleh ibu. Dalam
penelitian longitudinal yang dilakukan Bornstein, Tamis-LeMonda dan Haynes
(1991) ditemukan bahwa ibu menyesuaikan bahasa yang ia ucapkan dengan
perkembangan bahasa anak dan anak dengan kosakata terbanyak adalah mereka yang
mempunyai ibu yang responsif.
3.
Child-directed
Speech
Child-directed speech ialah
suatu bentuk percakapan yang digunakan kepada bayi atau toddler. Biasanya bahasa yang digunakan orang dewasa saat bicara
cenderung lambat, dengan nada suara lebih tinggi dan berirama, menggunakan
bahasa yang sederhana, memanjangkan vokal pada kata dan menggunakan kata yang
singkat dan mengulangi kata. Menurut Papalia et. al (2007), banyak peneliti
yang percaya bahwa child-directed speech
membantu bayi mempelajari bahasa ibu mereka atau setidaknya mereka lebih cepat
dalam membedakan kata-kata.
Maternal Responsiveness
Pengertian
Menurut Tamis-LeMonda, Bornstein dan Baumwell (2001), maternal responsiveness di definisikan sebagai perubahan positif dan
bermakna dalam tingkah laku yang contigous,
dan contingent terhadap tingkah laku
anak (mis: jika anak melihat cangkir dan ibu mengatakan “cangkir”, maka ibu
tersebut merespon tingkah laku anaknya). Sedangkan penelitian Bornstein dan
Tamis-LeMonda pada tahun 1989 (dalam Kail & Reese, 2002) dinyatakan bahwa respon
ibu yang prompt, contingent dan appropriate terhadap perubahan aktivitas
atau tingkahlaku anak berkontribusi pada pemerolehan bahasa anak, disebut maternal responsiveness.
Promptness yang dimaksud adalah pemilihan waktu respon ibu yang segera
setelah ada perubahan tingkah laku anak. Respons prompt memfasilitasi informasi verbal yang masuk kemudian akan diproses
oleh si anak. Contingency adalah respon
atau reaksi ibu yang muncul ketika ada perubahan dalam tingkahlaku anak (mis:
orangtua mengatakan “lihat, itu boneka beruang” ketika anak sedang
memegang-megang boneka beruang). Appropriateness
ialah respon ibu yang positif terhadap tingkah laku anak, yaitu tepat dan
sesuai dengan atensi anak. Misalnya, seorang ibu mengatakan “Adek lagi ngasih
makan si beruang ya” ketika anak sedang menyendokkan sendok ke arah mulut
beruang.
Dari definisi di atas, di tarik kesimpulan bahwa ada tiga karakteristik
stimulasi verbal – promptness,
contingency, dan appropriateness
– yang mendasari apa yang di maksud dengan maternal
responsiveness.
Kategori Maternal
Responsiveness
Berikut kategori maternal
responsiveness yang telah disusun
oleh Tamis, Bornstein dan Baumell (2001) dalam penelitian mereka. Maternal
responsiveness terdiri dari dua respon yaitu respon yang prompt, contingent dan
appropriate (Affirmation,
imitations,
description, demonstration, exploratory) dan maternal
responsiveness yang unresponsive, dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Affirmations,
yaitu mengafirmasi tingkah laku anak (misal: mengatakan iya, benar, pintar)
2.
Imitations,
yaitu mengimitasi dan atau merevisi ucapan anak (misal: mengucapkan kucing
setelah anak mengatakan “cing”)
3.
Description,
yaitu mendeskripsikan obyek/benda, kejadian/aktifitas (misal: anak melihat
gambar ikan, ibu mengatakan “itu ikan kayak punya adek ya”)
4.
Quetions, yaitu mengajukan
pertanyaan mengenai obyek/benda, kejadian/aktifitas yang sedang dilakukan oleh
si anak (misal: itu gambar apa?)
5.
Demonstration/ play prompt, yaitu melakukan permainan atau mencontohkan kejadian/aktifitas kepada
anak, bisa berupa pretend play, ikut
memainkan mainan bersama anak, menirukan suara binatang, dan sebagainya (misal:
“itu ajak boneka bayinya jalan-jalan”)
6.
Exploratory,
yaitu mengamati atau mengeksplorasi benda/obyek bersama anak (misal: ibu
mengatakan “lihat ini dek”; “ini mobil bisa apa aja a dek?”)
7.
Unresponsive,
yaitu ibu tidak melakukan respon dengan segera, positif, contigous ataupun contingent
(misal: ketika anak sedang bermain dengan boneka dan mengeluarkan ucapan-ucapan
verbal, ibu hanya diam saja. Atau ketika anak sedang melihat gambar hewan yang
sedang di pegangnya, ibu mengambil benda lain)
Maternal Responsiveness dan
Pemerolehan Bahasa Anak
Dari hasil
penelitian Tamis-LeMonda et. al (2001) ditemukan bahwa, jika anak melakukan
suatu tindakan, dan ibu merespon dengan tepat, maka perkembangan bahasa anak
akan lebih berkembang. Dalam penelitian Bornstein, Tamis-LeMonda, Tal,
Luderman, Toda, Rahn, Pecheuex, Azuma, & Vardi (1992), ada dua alasan
mengapa maternal responsiveness telah menarik perhatian para peneliti perkembangan.
Pertama, dapat melihat tiga kejadian yang saling berhubungan antara orangtua,
anak dan tingkah laku anak dengan tepat dan signifikan. Kedua, parental
responsiveness dinyatakan sebagai faktor yang berarti dalam perkembangan
anak.
Sedangkan Tamis-LeMonda, Cristofaro, Rodriguez, &
Bornstein (dalam Lawrence, 2006) dikatakan ada dua hal mengapa respons orangtua
(ibu) berpengaruh pada perkembangan bahasa anak. Pertama, respons verbal
memberi kesempatan anak untuk belajar kata-kata baru, karena respon verbal
orangtua disesuaikan dengan minat si anak (Bloom dalam Lawrence, 2006). Kedua,
anak memberi sinyal kepada orangtua mereka mengenai topik komunikasi yang ingin
anak bicarakan melalui ekspresi wajah, pandangan mata, gerakan tubuh dan
vokalisasi.
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tamis-LeMonda
sebelumnya (dalam Lawrence, 2002), ditemukan bahwa responsiveness berpengaruh pada usia dini 4-5 bulan, dalam berbagai
budaya. Di dalam penelitian tersebut di temukan bahwa maternal responsivness pada anak berusia 5 bulan tidak hanya
memprediksi perkembangan bahasa saat usia 7 bulan, juga berhubungan erat dengan
proses adaptasi anak (Bornstein & Tamis-LeMonda, 1997 dalam Tamis-LeMonda
dan Bornstein, 2002). Dalam penelitian yang dilakukan Bornstein et. al (1992)
di negara Amerika, Perancis dan Jepang, ditemukan bahwa ibu dari tiga negara
tersebut memiliki tiga budaya yang berbeda sama-sama merespon anaknya sesuai
dengan tingkahlaku yang anak mereka tampilkan. Snow (dalam Tamis-LeMonda, 2001)
juga mengatakan bahwa ibu dapat memberikan kalimat semantik yang relevan dan
dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh anak karena mengikuti sinyal yang
diberikan sang anak. Menurut Bornstein et. al (1999), modifikasi semantik dan
sintatik pada parental speech yang
disesuaikan dengan perkembangan bahasa anak, merupakan hal yang efektif untuk
mengembangkan pertumbuhan bahasa anak.
Penelitian yang lain juga mengemukakan pentingnya maternal responsive pada usia dini anak,
misalnya, dengan memfokuskan pada intonasi suara dan turn taking (Bloom et. al dalam Lawrence, 2002). Bloom (dalam
Lawrence, 2002) meneliti pengaruh turn
taking percakapan ibu – anak berikut infant
vocalization. Sedangkan penelitian Hollich et. al (dalam Lawrence, 2002)
dikemukakan bahwa jika ibu sering merespon dengan mengulang kata baru kepada
anak dapat menambah perbendaharaan kata anak. Menurut Tamis-LeMonda, Bornstein
dan Baumwell (2001), imitasi yang dilakukan oleh anak membuka kesempatan bagi
orangtua untuk me-reinforce makna
dari bentuk phonetic yang diucapkan
anak. Dan anak yang sering mengimitasi kata di luar perbendaharaan bahasa
mereka pada pemerolahan bahasa dini anak, memiliki kosa kata lebih banyak saat
berusia 17-21 bulan (Masur dalam Tamis-LeMonda 2001).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat gambaran maternal responsiveness dikaitkan dengan
pemerolehan bahasa, yaitu jumlah kata dan kalimat pada anak usia 24-26 ketika
sedang bermain bersama.